MANUSIA PERBATASAN (Episode 1)
Dengan patahan sebatang pohon yang siap kuayunkan, kesadaran antara tetap hidup atau mati, membuat mata nanar menghadapi mahluk di hadapanku. Mahluk ini tidak lebih besar dariku, hanya memiliki cakar tajam dan gigi-gigi putih runcing mengkilapkan kekuatan yang dibanjiri air liur. Mereka berbulu hitam sedikit abu-abu, bertelinga panjang yang juga ditutupi bulu –bulu hitam.
Anjing-anjing liar itu mengepung, entah dari jenis apa mereka, tak kupikirkan. Yang ada di kepala hanya akan ada pertarungan menentukan, nyawa siapa yang lepas hari ini. Gonggongan mahluk ini jelas bermakna meruntuhkan nyali, mencolok mataku dengan posisiku yang tidak menguntungkan. Untuk dapat berlari ke jalan besar di sisi kiri, Aku harus berlari mendaki bukit, dan ini jelas memudahkan mereka mengganyangku. Melompat ke waduk juga tidak mungkin, dua ekor anjing ganas sudah menunggu, meski dapat mencapai air, Aku tidak tahu berapa lama dapat berenang, sedang luas waduk seperti lautan. Pilihanku hanya mundur, namun seberapa jauh? Di belakangku tidak lagi tersedia tempat, hanya kerapatan pohon bambu dan pohon-pohon perdu berduri.
“Baiklah! Aku siap mati hari ini, tapi sebelumnya, beberapa dari kalian, akan mati olehku.” Kubulatkan tekat dengan doa berkepanjangan memohon pertolongan.
Tinggal sedetik lagi, kulihat mereka akan menyerang bersamaan setelah siap sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara cukup keras di sisi kiri:
“Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gaung gantung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.”
Aku hanya berani melirik sekilas pada pemuda berkulit hitam yang berdiri menatap sekawanan anjing liar itu. Kejadian selanjutnya, Aku hanya terkesima, menyaksikan mahluk ini berbalik badan meninggalkanku, dengan matanya mengawasi pemuda di atas sebuah batu besar yang dipenuhi rumput. Setelah kawanan anjing liar itu menghilang di balik batu besar, masih dengan menggenggam kuat tongkat kayu di tangan, kuarahkan pandangan pada pemuda yang menolongku, kami bertatapan.
Saat itu baru kusadari, ternyata dia bukanlah seorang pemuda, setidaknya jauh lebih tua dariku. Rambut ikalnya memang sehitam arang, memanjang hingga menyandar di bahu, tapi kumis dan jenggot tipisnya telah putih keseluruhan. Lipatan di kening, bahkan guratan di sudut matanya jelas kelihatan meski jarak kami lebih dari lima belas depa. Orang ini mengenakan kaos hitam berlengan pendek, begitu juga dengan celananya yang pendek sebatas lutut. Tubuh penolongku ini tidak jauh beda denganku, tingginya sekitar 170 sentimeter, hanya saja otot lengan dan kakinya nampak seperti pemuda kota yang memuja kegagahan dengan mengikuti olah tubuh di gedung binaraga. Pantas saja tadi Aku tertipu.
Belum sempat ucapan terima kasih kulontarkan, Ia bergerak menjauh, mendekati semak di dekat batu besar, tempat mahluk liar tadi menghilang. Di depan semak-semak, Ia menunduk, memetik sesuatu dari tumbuhan hijau yang menjalar, kemudian menjemurnya. Ingin kuhampiri orang itu, kalau saja Aku mampu. Badanku lemas, syarafku lemah, dan lambat laun hawa dingin merambat menciptakan demam di tubuh. Aku terduduk dengan kedua lutut menopang di tanah kering. Dalam ketiada-dayaan, kedua tanganku mengusap wajah, memanjatkan syukur.
Aku selamat. Meski bukan sekali ini kualami ancaman dari kegemaranku memancing di alam bebas, dimana jauh sebelumnya pernah kualami perahu kecil bermotor tempel yang kami sewa untuk memancing, nyaris karam di perbatasan antara Cilacap dan Pulau Nusakambangan. Malam itu hujan deras disertai angin yang memukul tubuh kami hingga memuntahkan habis isi perut. Tapi kejadian itu dan kejadian lainnya, tidak mengurangi keindahan seni saat memancing. Sebuah hobi gila! Kegemaran yang bodoh! Seperti kejadian pagi ini, karena ulahku yang hanyut dalam kenikmatan mengail ikan.
Bersambung…
Anjing-anjing liar itu mengepung, entah dari jenis apa mereka, tak kupikirkan. Yang ada di kepala hanya akan ada pertarungan menentukan, nyawa siapa yang lepas hari ini. Gonggongan mahluk ini jelas bermakna meruntuhkan nyali, mencolok mataku dengan posisiku yang tidak menguntungkan. Untuk dapat berlari ke jalan besar di sisi kiri, Aku harus berlari mendaki bukit, dan ini jelas memudahkan mereka mengganyangku. Melompat ke waduk juga tidak mungkin, dua ekor anjing ganas sudah menunggu, meski dapat mencapai air, Aku tidak tahu berapa lama dapat berenang, sedang luas waduk seperti lautan. Pilihanku hanya mundur, namun seberapa jauh? Di belakangku tidak lagi tersedia tempat, hanya kerapatan pohon bambu dan pohon-pohon perdu berduri.
“Baiklah! Aku siap mati hari ini, tapi sebelumnya, beberapa dari kalian, akan mati olehku.” Kubulatkan tekat dengan doa berkepanjangan memohon pertolongan.
Tinggal sedetik lagi, kulihat mereka akan menyerang bersamaan setelah siap sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara cukup keras di sisi kiri:
“Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gaung gantung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.”
Aku hanya berani melirik sekilas pada pemuda berkulit hitam yang berdiri menatap sekawanan anjing liar itu. Kejadian selanjutnya, Aku hanya terkesima, menyaksikan mahluk ini berbalik badan meninggalkanku, dengan matanya mengawasi pemuda di atas sebuah batu besar yang dipenuhi rumput. Setelah kawanan anjing liar itu menghilang di balik batu besar, masih dengan menggenggam kuat tongkat kayu di tangan, kuarahkan pandangan pada pemuda yang menolongku, kami bertatapan.
Saat itu baru kusadari, ternyata dia bukanlah seorang pemuda, setidaknya jauh lebih tua dariku. Rambut ikalnya memang sehitam arang, memanjang hingga menyandar di bahu, tapi kumis dan jenggot tipisnya telah putih keseluruhan. Lipatan di kening, bahkan guratan di sudut matanya jelas kelihatan meski jarak kami lebih dari lima belas depa. Orang ini mengenakan kaos hitam berlengan pendek, begitu juga dengan celananya yang pendek sebatas lutut. Tubuh penolongku ini tidak jauh beda denganku, tingginya sekitar 170 sentimeter, hanya saja otot lengan dan kakinya nampak seperti pemuda kota yang memuja kegagahan dengan mengikuti olah tubuh di gedung binaraga. Pantas saja tadi Aku tertipu.
Belum sempat ucapan terima kasih kulontarkan, Ia bergerak menjauh, mendekati semak di dekat batu besar, tempat mahluk liar tadi menghilang. Di depan semak-semak, Ia menunduk, memetik sesuatu dari tumbuhan hijau yang menjalar, kemudian menjemurnya. Ingin kuhampiri orang itu, kalau saja Aku mampu. Badanku lemas, syarafku lemah, dan lambat laun hawa dingin merambat menciptakan demam di tubuh. Aku terduduk dengan kedua lutut menopang di tanah kering. Dalam ketiada-dayaan, kedua tanganku mengusap wajah, memanjatkan syukur.
Aku selamat. Meski bukan sekali ini kualami ancaman dari kegemaranku memancing di alam bebas, dimana jauh sebelumnya pernah kualami perahu kecil bermotor tempel yang kami sewa untuk memancing, nyaris karam di perbatasan antara Cilacap dan Pulau Nusakambangan. Malam itu hujan deras disertai angin yang memukul tubuh kami hingga memuntahkan habis isi perut. Tapi kejadian itu dan kejadian lainnya, tidak mengurangi keindahan seni saat memancing. Sebuah hobi gila! Kegemaran yang bodoh! Seperti kejadian pagi ini, karena ulahku yang hanyut dalam kenikmatan mengail ikan.
Bersambung…
0 Comments:
Post a Comment
<< Home