<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d9161752722508658034\x26blogName\x3dNovel+-+nya+Mugi\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://mugi-novel.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://mugi-novel.blogspot.com/\x26vt\x3d-2341000963276049602', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

28 September 2009


MANTRA (Episode 1)

Kawan, kalau engkau seorang laki-laki atau perempuan yang menyandang gelar orang tua, atau siapapun engkau – pastinya akan tumbuh menjadi dewasa. Dengarkan nasihatku: “Janganlah sekali-kali kau katakan ketidakmampuan mendukung anak-anakmu, bijaklah! Meski kau tahu bahwa itu berat bahkan mustahil, katakan kesanggupanmu. Meski motivasi yang kau ucapkan bohong belaka, katakan terus, biarlah hal itu menjadi afirmasi yang terus tertanam di kepala anak-anakmu.”

Maaf, kalau kau anggap aku kurang ajar karena mengajarimu, tapi bukan itu maksudku. Engkau akan tahu dan mengerti siratan yang terucap dari ceritaku. Dan percayalah! Kamu tak akan mau memiliki anak sepertiku. Mengapa? Untuk itulah aku akan berkisah padamu.

Saat itu, perayaan hari kemerdekaan masih diselimuti was-was dan kengerian, akibat pembalasan yang dilakukan pemerintah terhadap partai komunis yang telah menutup buku tujuh jendral (G30S/PKI). Rakyat yang memang sudah hidup menderita, biasa terhadap ketakutan ataupun siksaan. Tidaklah setakut saat mendengar sebuah kata. Kata ini, yang bila diucapkan sambil menunjuk seseorang, maka orang itu akan goncanglah hatinya, gemetar seluruh badannya, mengucur keringat dan rontok semua kegagahan yang dimiliki, siapapun orangnya. Kata itu adalah “Kamu komunis!” Karena kata ini berarti “Kamu, keluargamu, orangtuamu, saudaramu, sanak famili, tetanggamu, teman-temanmu harus mati!”

Bapakku bukan komunis, tapi seperti orang kebanyakan, beliau simpati terhadap tujuan mulia partai ini. Sebagai mantan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kabur dari rumah karena tidak mendapat restu orangtuanya saat bermaksud ikut merebut Irian Barat, Beliau hanya tahu bahwa bertempur kala itu cuma untuk satu tujuan “Merdeka atau Mati”. Kalau mati berarti selesai, kalau merdeka berarti perbaikan hidup. Semua partai politik menjanjikan kehidupan yang lebih baik, PKI sangat pandai dalam hal merebut hati golongan rendah, buruh.

Sebagai kuli bangunan, tugas bapak memecah batu dan mengangkatnya untuk kemudian dijadikan pondasi bangunan. Hasil keringatnya selama seminggu dipastikan habis dalam tiga hari untuk makan dengan istrinya. Dalam kondisi seperti inilah aku lahir. Untungnya, aku bukanlah bayi yang menyulitkan karena setelah ASI tidak lagi bisa ibu berikan, aku sudah cukup tenang dengan minum air tajin. Hingga umurku dapat mulai mengingat, aku tidak pernah tahu bahwa ada makanan lain selain beras yang dimasak dengan banyak air, nasi tersebut kemudian digulung dengan ditaburi garam, kemudian dimakan.

Lanjutan..!

16 January 2007


MANUSIA PERBATASAN (Episode 1)

Dengan patahan sebatang pohon yang siap kuayunkan, kesadaran antara tetap hidup atau mati, membuat mata nanar menghadapi mahluk di hadapanku. Mahluk ini tidak lebih besar dariku, hanya memiliki cakar tajam dan gigi-gigi putih runcing mengkilapkan kekuatan yang dibanjiri air liur. Mereka berbulu hitam sedikit abu-abu, bertelinga panjang yang juga ditutupi bulu –bulu hitam.

Anjing-anjing liar itu mengepung, entah dari jenis apa mereka, tak kupikirkan. Yang ada di kepala hanya akan ada pertarungan menentukan, nyawa siapa yang lepas hari ini. Gonggongan mahluk ini jelas bermakna meruntuhkan nyali, mencolok mataku dengan posisiku yang tidak menguntungkan. Untuk dapat berlari ke jalan besar di sisi kiri, Aku harus berlari mendaki bukit, dan ini jelas memudahkan mereka mengganyangku. Melompat ke waduk juga tidak mungkin, dua ekor anjing ganas sudah menunggu, meski dapat mencapai air, Aku tidak tahu berapa lama dapat berenang, sedang luas waduk seperti lautan. Pilihanku hanya mundur, namun seberapa jauh? Di belakangku tidak lagi tersedia tempat, hanya kerapatan pohon bambu dan pohon-pohon perdu berduri.

“Baiklah! Aku siap mati hari ini, tapi sebelumnya, beberapa dari kalian, akan mati olehku.” Kubulatkan tekat dengan doa berkepanjangan memohon pertolongan.

Tinggal sedetik lagi, kulihat mereka akan menyerang bersamaan setelah siap sebelumnya. Tiba-tiba terdengar suara cukup keras di sisi kiri:

“Pulanglah engkau kepada rimba sekampung,
Pulanglah engkau kepada rimba yang besar,
Pulanglah engkau kepada gaung gantung,
Pulanglah engkau kepada sungai yang tiada berhulu,
Pulanglah engkau kepada kolam yang tiada berorang,
Pulanglah engkau kepada mata air yang tiada kering,
Jikalau kau tiada mau kembali, matilah engkau.”

Aku hanya berani melirik sekilas pada pemuda berkulit hitam yang berdiri menatap sekawanan anjing liar itu. Kejadian selanjutnya, Aku hanya terkesima, menyaksikan mahluk ini berbalik badan meninggalkanku, dengan matanya mengawasi pemuda di atas sebuah batu besar yang dipenuhi rumput. Setelah kawanan anjing liar itu menghilang di balik batu besar, masih dengan menggenggam kuat tongkat kayu di tangan, kuarahkan pandangan pada pemuda yang menolongku, kami bertatapan.

Saat itu baru kusadari, ternyata dia bukanlah seorang pemuda, setidaknya jauh lebih tua dariku. Rambut ikalnya memang sehitam arang, memanjang hingga menyandar di bahu, tapi kumis dan jenggot tipisnya telah putih keseluruhan. Lipatan di kening, bahkan guratan di sudut matanya jelas kelihatan meski jarak kami lebih dari lima belas depa. Orang ini mengenakan kaos hitam berlengan pendek, begitu juga dengan celananya yang pendek sebatas lutut. Tubuh penolongku ini tidak jauh beda denganku, tingginya sekitar 170 sentimeter, hanya saja otot lengan dan kakinya nampak seperti pemuda kota yang memuja kegagahan dengan mengikuti olah tubuh di gedung binaraga. Pantas saja tadi Aku tertipu.

Belum sempat ucapan terima kasih kulontarkan, Ia bergerak menjauh, mendekati semak di dekat batu besar, tempat mahluk liar tadi menghilang. Di depan semak-semak, Ia menunduk, memetik sesuatu dari tumbuhan hijau yang menjalar, kemudian menjemurnya. Ingin kuhampiri orang itu, kalau saja Aku mampu. Badanku lemas, syarafku lemah, dan lambat laun hawa dingin merambat menciptakan demam di tubuh. Aku terduduk dengan kedua lutut menopang di tanah kering. Dalam ketiada-dayaan, kedua tanganku mengusap wajah, memanjatkan syukur.

Aku selamat. Meski bukan sekali ini kualami ancaman dari kegemaranku memancing di alam bebas, dimana jauh sebelumnya pernah kualami perahu kecil bermotor tempel yang kami sewa untuk memancing, nyaris karam di perbatasan antara Cilacap dan Pulau Nusakambangan. Malam itu hujan deras disertai angin yang memukul tubuh kami hingga memuntahkan habis isi perut. Tapi kejadian itu dan kejadian lainnya, tidak mengurangi keindahan seni saat memancing. Sebuah hobi gila! Kegemaran yang bodoh! Seperti kejadian pagi ini, karena ulahku yang hanyut dalam kenikmatan mengail ikan.

Bersambung…


Lanjutan..!

Islamic Calendar Widgets by Alhabib
Free Hijri Date

Kecantikan seseorang harus dilihat dari matanya, karena itulah pintu hatinya - tempat dimana cinta itu ada.