MANTRA (Episode 1)
Kawan, kalau engkau seorang laki-laki atau perempuan yang menyandang gelar orang tua, atau siapapun engkau – pastinya akan tumbuh menjadi dewasa. Dengarkan nasihatku: “Janganlah sekali-kali kau katakan ketidakmampuan mendukung anak-anakmu, bijaklah! Meski kau tahu bahwa itu berat bahkan mustahil, katakan kesanggupanmu. Meski motivasi yang kau ucapkan bohong belaka, katakan terus, biarlah hal itu menjadi afirmasi yang terus tertanam di kepala anak-anakmu.”
Maaf, kalau kau anggap aku kurang ajar karena mengajarimu, tapi bukan itu maksudku. Engkau akan tahu dan mengerti siratan yang terucap dari ceritaku. Dan percayalah! Kamu tak akan mau memiliki anak sepertiku. Mengapa? Untuk itulah aku akan berkisah padamu.
Saat itu, perayaan hari kemerdekaan masih diselimuti was-was dan kengerian, akibat pembalasan yang dilakukan pemerintah terhadap partai komunis yang telah menutup buku tujuh jendral (G30S/PKI). Rakyat yang memang sudah hidup menderita, biasa terhadap ketakutan ataupun siksaan. Tidaklah setakut saat mendengar sebuah kata. Kata ini, yang bila diucapkan sambil menunjuk seseorang, maka orang itu akan goncanglah hatinya, gemetar seluruh badannya, mengucur keringat dan rontok semua kegagahan yang dimiliki, siapapun orangnya. Kata itu adalah “Kamu komunis!” Karena kata ini berarti “Kamu, keluargamu, orangtuamu, saudaramu, sanak famili, tetanggamu, teman-temanmu harus mati!”
Bapakku bukan komunis, tapi seperti orang kebanyakan, beliau simpati terhadap tujuan mulia partai ini. Sebagai mantan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kabur dari rumah karena tidak mendapat restu orangtuanya saat bermaksud ikut merebut Irian Barat, Beliau hanya tahu bahwa bertempur kala itu cuma untuk satu tujuan “Merdeka atau Mati”. Kalau mati berarti selesai, kalau merdeka berarti perbaikan hidup. Semua partai politik menjanjikan kehidupan yang lebih baik, PKI sangat pandai dalam hal merebut hati golongan rendah, buruh.
Sebagai kuli bangunan, tugas bapak memecah batu dan mengangkatnya untuk kemudian dijadikan pondasi bangunan. Hasil keringatnya selama seminggu dipastikan habis dalam tiga hari untuk makan dengan istrinya. Dalam kondisi seperti inilah aku lahir. Untungnya, aku bukanlah bayi yang menyulitkan karena setelah ASI tidak lagi bisa ibu berikan, aku sudah cukup tenang dengan minum air tajin. Hingga umurku dapat mulai mengingat, aku tidak pernah tahu bahwa ada makanan lain selain beras yang dimasak dengan banyak air, nasi tersebut kemudian digulung dengan ditaburi garam, kemudian dimakan.
Maaf, kalau kau anggap aku kurang ajar karena mengajarimu, tapi bukan itu maksudku. Engkau akan tahu dan mengerti siratan yang terucap dari ceritaku. Dan percayalah! Kamu tak akan mau memiliki anak sepertiku. Mengapa? Untuk itulah aku akan berkisah padamu.
Saat itu, perayaan hari kemerdekaan masih diselimuti was-was dan kengerian, akibat pembalasan yang dilakukan pemerintah terhadap partai komunis yang telah menutup buku tujuh jendral (G30S/PKI). Rakyat yang memang sudah hidup menderita, biasa terhadap ketakutan ataupun siksaan. Tidaklah setakut saat mendengar sebuah kata. Kata ini, yang bila diucapkan sambil menunjuk seseorang, maka orang itu akan goncanglah hatinya, gemetar seluruh badannya, mengucur keringat dan rontok semua kegagahan yang dimiliki, siapapun orangnya. Kata itu adalah “Kamu komunis!” Karena kata ini berarti “Kamu, keluargamu, orangtuamu, saudaramu, sanak famili, tetanggamu, teman-temanmu harus mati!”
Bapakku bukan komunis, tapi seperti orang kebanyakan, beliau simpati terhadap tujuan mulia partai ini. Sebagai mantan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang kabur dari rumah karena tidak mendapat restu orangtuanya saat bermaksud ikut merebut Irian Barat, Beliau hanya tahu bahwa bertempur kala itu cuma untuk satu tujuan “Merdeka atau Mati”. Kalau mati berarti selesai, kalau merdeka berarti perbaikan hidup. Semua partai politik menjanjikan kehidupan yang lebih baik, PKI sangat pandai dalam hal merebut hati golongan rendah, buruh.
Sebagai kuli bangunan, tugas bapak memecah batu dan mengangkatnya untuk kemudian dijadikan pondasi bangunan. Hasil keringatnya selama seminggu dipastikan habis dalam tiga hari untuk makan dengan istrinya. Dalam kondisi seperti inilah aku lahir. Untungnya, aku bukanlah bayi yang menyulitkan karena setelah ASI tidak lagi bisa ibu berikan, aku sudah cukup tenang dengan minum air tajin. Hingga umurku dapat mulai mengingat, aku tidak pernah tahu bahwa ada makanan lain selain beras yang dimasak dengan banyak air, nasi tersebut kemudian digulung dengan ditaburi garam, kemudian dimakan.
Lanjutan..!